Belajar Sholat

Mengawasi anak kelas dua SD sholat Ashar itu seperti mengembalikan kenangan saya bersama almarhumah mamak saya. Beliau cukup keras mendidik dalam hal ibadah. Waktu itu saya masih berusia empat tahun. Anak pertama dan belum punya adik. Baru masuk TK nol kecil -sampai sekarang saya belum tahu kenapa diberi nama nol kecil- di sebuah TK Islam yang berlokasi di Masjid Raya, sekarang namanya Masjid Agung.

Jadi, setiap sholat, saya harus membaca dengan keras agar mudah dikoreksi, tapi setelah mamak saya sholat terlebih dahulu. Menggemalah suara saya di dalam kamar itu, padahal hanya kami berdua. Pernah suatu hari karena terlalu disiplin didikan mamak, saya sampai menangis karena kelelahan. Padahal lelahnya karena banyak bermain sama Mamat. Hehehe…

Meskipun begitu, mamak adalah seorang ibu yang cukup humoris. Waktu itu, aku menunggu mamak sholat di dalam kamar, perutku tengah mules sekali. Tiba-tiba aku (maaf) buang angin. Bunyinya “pssss”. Selesai sholat, mamak tanya.

“Suara apa ya tadi?”

Sambil memegang perutku yang mulas menahan sakit mau buang air besar aku jawab,

“Widya kentut, Mak.”

Wajahku meringis menahan sakit dan berkeringat.

“Oh, mamak kira suara apa. Suaranya kayak suara ular gitu. Mau buang air?”

Aku mengangguk.

“Berani kan sendiri?” goda mamak sambil senyum senyum usil.

WC khusus buang air di rumah Mbahku ini posisinya di luar rumah, dan gelap sekali karena tidak ada lampu. Sementara aku belum bisa menghidupkan lampu minyak. Aku takut sekali saat itu. Aku menggeleng. Ngeri membayangkan banyaknya kecoak dan binatang lainnya.

“Ya udah, ayo mamak antar.”

Tanganku dipimpinnya. Lampu minyak mulai dihidupkan. Mamak menunggu di luar. Beberapa waktu kemudian.

“Sudah belum?”

“Belum”

“Masih lama ya? Mamak tinggal ya… Hihihi.”

“Jangaaaaaan. Widya takut.”

“Hahaha”

Ya Allah, aku merasa Mamakku adalah orang terusil dalam hidupku saat itu.

Tapi didikan sholat saat kecil itu memanga dampaknya luar biasa. Kita mulai terbiasa dengan bacaan sholat. Saat masuk SD aku bersyukur, bacaan sholatku lancar.

Nah, sekarang balik lagi ke anak SD. Subhanallah. Kalau lihat mereka sholat kadang mau ketawa, kadang gemes, kadang tersenyum lucu. Lucu karena mereka masih sering jelalatan matanya. Gemes, karena beberapa gerakannya masih perlu dibenerin. Tapi yang perlu disyukuri, mereka sangat beruntung sudah diajarkan sholat berjamaah seusia itu. Di ruang yang sama, ada kakak kelas mereka yang juga sholat, namun gerakan sholatnya super kilat. Entah apa yang dibaca. Aku sampai menyimpan banyak tanya “kenapa?” dalam otakku. Dan jawabannya beragam:

  1. Bacaannya sudah super lancar
  2. Mungkin buru-buru
  3. Mungkin karena menggugurkan kewajiban
  4. Masih anak-anak

Satu nilai plus karena mereka sudah mau sholat, mungkin perlu diingatkan kembali untuk memahami hakikat sholat, bahwa meskipun tidak diawasi manusia, tapi Allah tetap mengawasi. Jangan takut takuti dengan neraka. Kesannya kayak Allah itu jahat banget. Berikan pemahaman tentang konsekuensi, hal baik dibalas baik, hal buruk dibalas buruk. Allah Maha Adil. Begitu sih yang aku dapatkan dari sebuah majelis ilmu. Yang paling penting adalah do’a. pernah ada cerita, dulu ada seorang akhwat yang sebelum menikah selalu membaca doa yang terdapat di dalam surat Ibrahim ayat 40. Selamat mencoba.

KAOS KAKI

Sore itu angin sedang bertiup sedang. Tidak terlalu kencang, namun juga tidak terlalu lambat. Aku duduk di bangku di bawah pohon rambutan di halaman belakang rumah. Kaki kugoyang-goyangkan, sambil mataku jelalatan melihat bandulan buah alpukat di pohonnya, sebentar lagi insya Allah matang, semoga bisa memberi banyak keberkahan bagi yang memakannya, begitu batinku. Beberapa buahnya jatuh terhempas oleh angin kencang.

Tiba-tiba aku punya ide mau membaca buku sambil mengemil sesuatu untuk menikmati hari liburku seharian di rumah. Lalu kusambar dompet. Ibu minta dbelikan obat sakit kepala sekalian, aku sibuk mencari kaos kaki, baru saja kucuci jadi masih basah. Ingin pakai yang baru di kamar, kamar dikunci adikku, biasanya kalau dia sudah di depan laptop, dia tak ingin diganggu. Jadi aku pakai kaos kaki yang ada di rak sepatu. Warnanya sungguh tidak matching dengan warna pakaianku. Bawahan hijau, jaket organisasi abu-abu dan jilbab hijau, sementara kaos kaki berwarna merah. Oh my God!

Tapi bodoh amatlah, kan Cuma ke warung. Ibu menyarankan untuk naik motor, tapi aku memilih jalan kaki, lama sudah aku tak jalan kaki. Sebelum pergi, ibu bilang, “kenapa dipakai kaos kainya, kan gak kelihatan kakinya?”

Kujawab, “Biar suami Widya aja yang lihat, Bu.” Karena kaki adalah aurat, maka tak mungkin kutampakkan kepada yang non mahram. Semoga aku kuat menjaga prinsip ini. Kuatlah Widya!

Singkat cerita, obat yang dipesan ibu tidak ada, kutanya penjaga warungnya tentang warung lainnya, ternyata dua warung lainnya tutup pula. Beli dimana ya? Sudah hampir menjelang maghrib pula. Ya sudah, aku putuskan untuk naik motor, mungkin di minimarket di jalan raya ada. Saat aku hampir sampai, ternyata mini marketnya tutup. Tak kehilangan akal, aku pergi ke mini market lainnya di jalan tujuhbelas menit yang selalu kulewati saat pulang kerja sebelum ada si Kenshin, motorku. Di mini market ini pun juga tak ada. Ada apa ini? Aku sempatkan mampir ke warung gorengan yang biasa aku samperin setiap pulang kerja.

“Lama tak nampak?”

“Sekarang dijemput adek pake motor, kak.”

“Alhamdulillah, ada kemajuan.”

“Alhamdulillah.”

Kakak itu melihat penampilanku sambil tersenyum senyum. Bodo amatlah, yang penting pakai kaos kaki. Usai berbasa basi, akupun melanjutkan misi. Tak kehabisan ide, warung-warung di jalan tujuh belas menit itu aku datangi. Alhamdulillah, karena masih rezeki, ketemu obatnya. Akupun pulang dengan gemetar menahan dinginnya angin dan kecepatan motorku, karena adzan maghrib hampir berkumandang. Yah, tak jadi baca buku di bawah pohon. T_T

 

 

16 Februari 2017

Pulang Terakhir

Ada hal menarik selama mengajar tahfidz kelas 2 SD. Aku bukanlah seorang hafidzoh, namun kehormatan untuk mengajarkan Al-Qur’an itu menghampiriku. Sudah tiga kali kutolak. Alasanku karena jatah jam mengajar bahasa Inggris sudah cukup padat, khawatir yang kuberikan adalah waktu sisa dan kurang maksimal. Namun, pada tawaran keempat, aku akhirnya menyanggupi. Pikirku, mungkin ini bisa jadi ladang pahala buatku atau barangkali bisa menambah motivasi untuk menambah hapalan yang sedikit itu. Aamiin.

Hari ini, menghafal surat Al Muddatstsir ayat 44-46. Sebagian besar mereka khusyuk mengahafal, meski satu dua ada yang sibuk bermain. Sudah berkali kali ditegur, namun tidak berhenti juga. Akhirnya kubiarkan. Pada saat sebelum setoran hafalan, kukatakan “Ustadzah tidak akan membantu, kalau ada yang terlupa, silahkan mengantri lagi di belakang.” Semua kuperlakukan sama kecuali yang pertama berani setoran. Dia dapat hak istimewa memperoleh bantuan satu kata. Itu pun ada yang lupa, terpaksa mengantri lagi. Ada yang dua tiga kali baru selesai setorannya. Ada yang lebih dari lima. Sebut saja namanya “Ameera”. Si gempal yang suka senyum ini memang dari tadi kuperhatikan main karet. Sedikit iseng, kukerjai dia. Jahat memang, tapi semoga bisa menjadi pelajaran buatnya. Anak anak seusia kelas dua SD kan masih pada polos polos. Hehehe…

Ameera                : walam…walam…naku. Walam…walam…

Aku        : Bisa?

Ameera                : (nyengir dan geleng-geleng)

Aku        : Coba hapalkan lagi di belakang ya…

Sampai semua temannya pulang, dia masih belum hapal. Jadwal kami selesai mengajar adalah setelah sholat ashar. Kalau mau, aku bisa saja membantunya, agar ia bisa segera pulang dan aku pun demikian. Namun, aku merasa itu kurang mendidik, harus ada resiko atau konsekuensi yang dia harus dapatkan sebagai bahan pembelajaran agar tidak diulangi. Yah, meski harus pulang lebih telat dan lebih sabar untuk tidak ‘gemes’ membantunya.

Ameera                : Wakunnaa… wakunna

Aku        : Bisa?

Ameera                : (nyengir dan geleng-geleng)

Aku        : Coba hapalkan lagi ya…

Setelah tiga kali ia mencoba namun gagal, kucontohkan cara membacanya sampai tiga kali. Lalu bertanya.

Aku        : Ameera tahu kenapa dari tadi tidak bisa?

Ameera                : (Mengangguk)

Aku        : Kenapa?

Ameera                : Karena main karet, Ustadzah.

Aku        : Begitu? Besok masih mau diulangi?

Ameera : (Geleng-geleng merasa bersalah)

Aku        : Baiklah. Sekarang coba ulangi setelah ustadzah beri contoh ya.

Ameera                : wakunnaa nukadz dzibu biyaumiddiin.

Aku        : Bagus. Nah, sekarang boleh pulang. Baca doa dulu ya.

Gak papa kali ya, aku kerjain dia. Aku cuma bisa begitu sih. Belum paham teknik yang lain. Barangkali ada yang mau berbagi tips menangani siswa yang demikian?

 

 

20 Maret 2017